Kunjungi Kami

Senin, 18 Februari 2013

Ceramah Ramadhan


Ceramah Ramadhan

Ceramah Ramadhan(2): Jalan Kemuliaan Puasa
Dimuat Selasa, 20 November 2001 
Salah satu jenis ibadah yang: umum, sangat tua, dan semua agama memerintahkannya adalah puasa. Jenis ibadah ini lebih universal, meskipun cara pelaksanaanya berbeda-beda. Dalam sejarah, puasa sudah dilaksanakan oleh bangsa Mesir kuno, Yunani, dan Romawi. Puasa merupakan ajaran semua agama, baik yang samawi seperti Yahudi dan Nasrani maupun yang thabi'i (kultur), seperti Hindu dan Budha. Perbedaannya terletak pada motivasi pelaksanannya (niatnya), penyebabnya, serta cara pelaksanaanya.

Umumnya, orang berpuasa pada saat menghadapi berbagai kesulitan hidup, ketika berduka cita, atau sedang mengalami musibah. Orang berpuasa untuk menandai masa-masa berkabung. Di kalangan penyembah berhala, orang berpuasa karena didorong oleh keinginan untuk menghilangkan kemarahan tuhan, karena mereka telah banyak melakukan pelanggaran. Melalui puasa mereka mengaharapkan kerelaan tuhan untuk kemudian memeberikan pertolongan. Sampai saat ini masih banyak orang yang melaksakan puasa karena motivasi seperti ini.

Karena puasa ini merupakan ibadah yang universal, artinya semua agama mengajarkannya, maka banyak orang Islam yang ketika bulan Ramadan tiba sangat antusias menjalankan puasa walaupun dalam kesehariannya mereka tidak menjalankan salat. Bagi mereka puasa itu mempunyai arti yang lebih dari sekadar ibadah puasa.

Pemaknaan puasa seperti di atas boleh-boleh saja, asal tidak sampai tercampur dengan motivasi-motivasi lain, yang sumbernya berasal dari ajaran agama lain (atau mistisisme). Pemahaman semacam itu masih besar dalam diri umat Islam Indonesia (serta mungkin umat Islam negara lainnya, khususnya di kawasan Asia). Tugas para dai adalah meluruskan dan memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh agama lain (kepercayaan lain), yang sesat dan menyesatkan.

Dalam konteks syariat Islam, motivasi puasa atau shiyâm tidak lain kecuali untuk meninggikan derajat manusia ke puncak kehidupan ruhaniyah yang tinggi dan mulia dalam pandangan Allah. Dalam pandangan Islam, derajat tertinggi manusia adalah yang bertakwa. Allah menegaskan dalam firmannya: "sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa" (QS. al-Hujurat:13). Siapa pun dapat mencapai derajat ini tanpa memandang status sosial.

Takwa inilah yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa Ramadan. Inilah motivasi dasar dari segala bentuk ritual Ramadan. Kaum muslimin hendaknya mempunyai tujuan yang sama , untuk bersama-sama menjalankan ibadah (puasa) agar mencapai puncak rohaniah yang tertinggi dan termulia di sisi Allah swt. Untuk apa menjadi presiden jika hanya mengantarkan kita lebih cepat meluncur ke neraka? Untuk apa menjadi pejabat jika mempermudah kita berlumur dosa? Untuk apa menjadi konglomerat jika hanya akan menyengsarakan kehidupan kita di dunia dan akhirat?.

Ramadan kali ini adalah kesempatan bagi kita untuk berlomba-lomba mencapai tingkatan takwa. Kita mengalami defisit takwa. Orang yang bertakwa jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang jahat, kotor, dan tak bermoral.

Seandainya negara seperti Indonesia ini dipenuhi orang-orang yang bertakwa, krisis yang melanda tentu akan mudah teratasi. Kenapa demikian? Orang yang bertakwa akan selalu dibimbing Allah, diberi petunjuk ke jalan yang benar, sehingga mereka akan mampu memecahkan setiap permasalahan. Allah berjanji, Allah akan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Jatsiyah: 19).

Jika Allah sudah menjadi pembimbing kita, tentu dia menunjuki kita ke jalan yang terang benderang. Allah pasti akan menuntun kita agar kaki kita tidak terperosok ke dalam lubang krisis yang sulit dilepaskan. Jika Allah membiarkan kita berjalan sendiri, bisa jadi kita lepas dari mulut singa tapi masuk ke mulut buaya. Sama saja.

Stok insan yang bertakwa saat ini tengah berkurang. Kita sedang kekurangan orang-orang yang dibimbing jalannya oleh Allah swt. Sebenarnya sudah lama kita mengidam-idamkan generasi muttaqin (yang bertakwa), tapi betul bahwa takwa sudah lama menjadi idaman, bahkan menjadi program. Harapan kita, pendidikan akhlak dan moral, termasuk ketakwaan kepada Allah swt, biarlah dikembalikan kepada yang bertanggung jawab, yaitu lembaga agama.

Jika benar-benar lahir generasi takwa di dunia ini, niscaya secara alami seluruh persoalan dunia dapat diatasi. Bukankah Allah mencintai hambanya yang bertakwa? Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa" (QS. ali-Imran: 76). Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, tentu Dia tidak rela hamba-Nya terus menerus berada dalam kesulitan. Allah pasti akan mengangkatnya dari "lumpur yang kotor" itu, kemudian memberi tempat yang terpuji dan mulia.

Jika kita lebih teliti lagi membaca Al Qur'an, ternyata Allah swt tidak hanya sekedar cinta, tapi selalu bersama-sama orang yang bertakwa. Ini janji yang luar biasa. Sekedar dikawal tentara yang bersenjata saja kita sudah merasa aman, apalagi jika kita dikawal Allah. Sekedar ditemani orang yang kita cintai saja sudah merasa tentram, apalagi ditemani Allah yang berfirman sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 194).

Dengan janji-janji di atas, pantas jika kemudian Allah mengangkat orang yang bertakwa ke derajat yang paling mulia. Sebab mereka pastilah generasi yang menang , bukan yang menang-menangan. Artinya kemenangan yang mereka raih bukan sekedar untuk dirinya sendiri dengan merugikan pihak lain, tapi kemenangan yang sejati, kemenangan untuk semua. Dalam menyelesaikan masalah, mereka berprinsip win-win, menang sama menang, bukan kalah sama kalah.

Kepada mereka yang bertakwa, sekali lagi Allah menjanjikan "kesudahan yang baik (kemenangan) adalah untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. al-A'raf: 128). Sekarang tinggal kita, percaya atau tidak terhadap janji Allah, pasti ditepati. Dunia ini akan menjadi jaya, jika segenap penduduknya bertakwa. Ini suatu aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Allah berfirman: "Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" ( QS. al-A'raf 96).

Ada satu jalan suci yang dapat diraih oleh seluruh umat manusia untuk meraih segala kemuliaan itu, meraih ketakwaan dengan seluruh nafasnya. Jalan suci itu adalah berpuasa, khususnya berpuasa di bulan suci Ramadan. Di sana lah menunggu janji-jani Allah kepada kemuliaan dunia beserta isinya. Maka, rugilah bila kita tidak berpuasa.

Asal Kota Bandung


Asal Kota Bandung

Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.

Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung.
Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu).
Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.
Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.
Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas, yaitu kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.
Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.
Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.

Berdirinya Kota Bandung
Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).
Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut.
Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.
Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun.
Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu.
Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.
indahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung.
Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).
Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867.
Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur)
Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.
Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester (walikota).
Oleh: A. Sobana Hardjasaputra

Kamis, 07 Februari 2013

AQIQAH


A. Pengertian Aqiqah
Imam Ibnul Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.25-26, mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim rahimahulloh berkata :
“Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.”
Imam Ahmad rahimahulloh dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).
B. Dalil-dalil Syar’i Aqiqah
Hadist No.1 :
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]
Hadist No.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
Hadist No.3 :
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]
Hadist No.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
Hadist No.5 :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]
Hadist No.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.
Dalil atau Hadits-hadits  tentang Aqiqah yang menjadi dasar disyariatkannya akikah :
1.    Hadits riwayat Imam Ahmad : Anak-anak itu tergadai (tertahan) dengan aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya dan diberi nama.
2.   Hadits riwayat Aisyah r.a : Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami supaya menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor dan untuk wanita seekor.
3.   Hadits riwayat Aisyah r.a : Rasulullah SAW pernah membuat aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ketujuhnya.  (HR Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi).
4.   Hadist riwayat Salman Bin Amar Adh-Dhahabi : Sesungguhnya bersama anak itu ada hak di Aqiqahi, maka tumpahkanlah darah baginya (dengan menyembelih hewan) dan buanglah penyakit darinya (dengan mencukur rambutnya).  (HR Bukhari)
5.   Hadits riwayat Abu Buraidah r.a.: Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas, atau kedua puluh satunya. (HR Baihaqi dan Thabrani).
6.   Pemahaman Aqiqah – Kata ‘Aqiqah berasal dari bahasa arab. Secara etimologi, ia berarti ‘memutus’. ‘Aqqa walidayhi, artinya jika ia memutus (tali silaturahmi) keduanya. Dalam istilah, ‘Aqiqahberarti “menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah swt berupa kelahiran seorang anak”.
7.                 Hukum Dan Tuntunan Pelaksanaan Aqiqah
8.   Aqiqah merupakan salah satu hal yang disyariatkan dalam agama islam. Dalil-dalil yang menyatakan hal ini, di antaranya, adalah Hadits Rasulullah saw, “Setiap anak tertuntut dengan ‘Aqiqah-nya’?. Ada Hadits lain yang menyatakan, “Anak laki-laki (‘Aqiqah-nya dengan 2 kambing) sedang anak perempuan (‘Aqiqah-nya) dengan 1 ekor kambing’?. Status hukum ‘Aqiqah adalah sunnah. Hal tersebut sesuai dengan pandangan mayoritas ulama, seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Malik, dengan berdasarkan dalil di atas.Paraulama itu tidak sependapat dengan yang mengatakan wajib, dengan menyatakan bahwa seandainya ‘Aqiqah wajib, maka kewajiban tersebut menjadi suatu hal yang sangat diketahui oleh agama. Dan seandainya ‘Aqiqah wajib, maka Rasulullah saw juga pasti telah menerangkan akan kewajiban tersebut.
9.   Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Laits, berpendapat bahwa hukum ‘Aqiqah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan atas salah satu Hadits di atas, “Kullu ghulamin murtahanun bi ‘aqiqatihi’ artinya (setiap anak tertuntut dengan ‘Aqiqah-nya), mereka berpendapat bahwa Hadits ini menunjukkan dalil wajibnya ‘Aqiqah dan menafsirkan Hadits ini bahwa seorang anak tertahan syafaatnya bagi orang tuanya hingga ia di-’Aqiqah-i.  Adajuga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya ‘Aqiqah, tetapi pendapat ini tidak berdasar sama sekali. Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa ‘Aqiqah adalah sunnah.
10.                 Bagi seorang ayah yang mampu hendaknya menghidupkan sunnah ini hingga ia mendapat pahala. Dengan syariat ini, ia dapat berpartisipasi dalam menyebarkan rasa cinta di masyarakat dengan mengundang para tetangga dalam walimah ‘Aqiqah tersebut.
11.                 Mengenai kapan ‘Aqiqah dilaksanakan, Rasulullah saw bersabda, “Seorang anak tertahan hingga ia di-’Aqiqah-i, (yaitu) yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan diberi nama pada waktu itu’?. Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa ‘Aqiqah mendapatkan kesunnahan jika disembelih pada hari ketujuh. Sayyidah Aisyah ra dan Imam Ahmad berpendapat bahwa ‘Aqiqah bisa disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas ataupun hari keduapuluh satu. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sembelihan ‘Aqiqah pada hari ketujuh hanya sekedar sunnah, jika ‘Aqiqah disembelih pada hari keempat, atau kedelapan ataupun kesepuluh ataupun sesudahnya maka hal itu dibolehkan.
12.                 Menurut hemat penulis, jika seorang ayah mampu untuk menyembelih ‘Aqiqah pada hari ketujuh, maka sebaiknya ia menyembelihnya pada hari tersebut. Namun, jika ia tidak mampu pada hari tersebut, maka boleh baginya untuk menyembelihnya pada waktu kapan saja. ‘Aqiqah anak laki-laki berbeda dengan ‘Aqiqah anak perempuan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sesuai Hadits yang telah kami sampaikan di atas. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa ‘Aqiqah anak laki-laki sama dengan ‘Aqiqah anak perempuan, yaitu sama-sama 1 ekor kambing. Pendapat ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw meng-’Aqiqah- i Sayyidina Hasan dengan 1 ekor kambing, dan Sayyidina Husein ‘“keduanya adalah cucu beliau saw’” dengan 1 ekor kambing.
13.                 Bisa kita simpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2 ekor kambing bagi ‘Aqiqah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk ‘Aqiqah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala. Wallahu A’lam.
14.                 Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa agama Islam membedakan antara ‘Aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan, maka bisa kita jawab, bahwa seorang muslim, ia berserah diri sepenuhnya pada perintah Allah swt, meskipun ia tidak tahu hikmah akan perintah tersebut, karena akal manusia terbatas. Barangkali juga kita bisa mengambil hikmahnya yaitu untuk memperlihatkan kelebihan seorang laki-laki dari segi kekuatan jasmani, juga dari segi kepemimpinannya (qawwamah) dalam suatu rumah tangga. Wallahu A’lam.
15.                 Dalam penyembelihan ‘Aqiqah, banyak hal yang perlu diperhatikan, di antaranya, sebaiknya tidak mematahkan tulang dari sembelihan ‘Aqiqah tersebut, dengan hikmah tafa’™ul (berharap) akan keselamatan tubuh dan anggota badan anak tersebut. ‘Aqiqah sah jika memenuhi syarat seperti syarat hewan Qurban, yaitu tidak cacat dan memasuki usia yang telah disyaratkan oleh agama Islam. Seperti dalam definisi tersebut di atas, bahwa ‘Aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh semenjak kelahiran seorang anak, sebagai rasa syukur kepada Allah. Tetapi boleh juga mengganti kambing dengan unta ataupun sapi dengan syarat unta atau sapi tersebut hanya untuk satu anak saja, tidak seperti kurban yang mana dibolehkan untuk 7 orang. Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa ‘Aqiqah hanya boleh dengan menggunakan kambing saja, sesuai dalil-dalil yang datang dari Rasulullah saw.
16.                 Adaperbedaan lain antara ‘Aqiqah dengan Qurban, kalau daging Qurban dibagi-bagikan dalam keadaan mentah, sedangkan ‘Aqiqah dibagi-bagikan dalam keadaan matang. Kita dapat mengambil hikmah syariat ‘Aqiqah. Yakni, dengan ‘Aqiqah, timbullah rasa kasih sayang di masyarakat karena mereka berkumpul dalam satu walimah sebagai tanda rasa syukur kepada Allah swt. Dengan ‘Aqiqah pula, berarti bebaslah tali belenggu yang menghalangi seorang anak untuk memberikan syafaat pada orang tuanya. Dan lebih dari itu semua, bahwasanya ‘Aqiqah adalah menjalankan syiar Islam.
17.                 Ketika menyembelih diniatkan untuk meng-aqiqahi bayi tadi dengan menyebutkan namanya dan nama bapaknya. Bumbu masakannya lebih dimaniskan, tujuannya agar akhlaknya nantipun juga manis, disamping memang kesukaan Rasulullah adalah masakan manis dan madu.
18.                Cukur Rambut, Pemberian Nama, Tahnik Setelah Aqiqah
19.                 Urutannya adalah aqiqah, kemudian cukur rambut, dan memberi nama. Boleh saja dinamai pada hari pertama, bila tidak berniat aqiqah.(baca juga Ajaran Islam Menyambut Kelahiran  Bayi). Bila diadakanaqiqah, maka nama diberika dan disebutkan pada saat acara tersebut diselenggarakan. Nama yang akan diberikan  diusahakan sebagus mungkin. Rasulullah SAW bersabda, “nanti pada saat qiamat, kalian akan dipanggil sesuai nama kalian dan bapak kalian, karena itu baguskanlah namamu”.
20.                 Pencukuran rambut dilakukan setelah pemotongan kambing, sebagaimana pada haji, tahallul dilakukan setelah qurban. Rambut yang dipotong tadi dikumpulkan, ditimbang, dan beratnya dikonversikan ke emas atau perak. Rasulullah SAW memerintahkan Sayyidah Fathimah untuk menimbang rambut Sayyidina Husein dan bershadaqah emas seberat rambut itu. Juga memberikan hadiah khusus (paha/kaki kambing) ke bidan yang menolong kelahirannya.
21.                 Setelah itu dilanjutkan dengan tahnik yaitu memasukkan sesuatu yang manis ke mulut bayi.. Para shahabat punya kebiasaan, bila bayinya telah lahir, mereka langsung membawanya ke hadapan Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau menyuruh untuk mengambil kurma, kemudian mengunyahnya, hingga halus, lalu mengambilnya sedikit (dari dalam mulut beliau), dan menyuapkannya ke mulut bayi, dengan cara menyentuhkannya di langit-langit mulut bayi yang akan “otomatis” menghisapnya. Di sini akan masuk 2 hal, yakni glukosa (karbohidrat) untuk kekuatan fisik dan ludah Rasulullah SAW yang membawa berkah. Sunnah ini dilanjutkan oleh ummat Islam, dengan mentahnikkan bayinya kepada para ulama, dengan sabda Nabi “Al-Ulamau waratsatul Ambiya’”, ulama itu pewaris para Nabi. Bila tak ditemui ulama (kaum shalihin) laki-laki maka perempuanpun tidak ada masalah.
22.                Ucapan Selamat Pada Acara Aqiqah
23.                 Pernyataan ikut berbahagia atas kehadiran anggota baru dalam keluarga dapat memberikan kesan haru dan mendalam pada keluarga yang baru mendapat momongan tersebut. Pernyataan tersebut bisa berupa hadiah, tulisan atau ucapan selamat dari sanak saudara, kerabat dekat, para tetangga, teman-teman dan tamu yang hadir pada acara aqiqah.
24.                 Berikut ucapan selamat untuk keluarga yang baru melahirkan atau pada saat menghadiri acara kekahan/aqiqah.
25.                 Ucapan standarnya :ucapan selamat2 Pahamkah Anda Tentang Aqiqah ?
26.                 Barakallahu laka fil mauhubi laka wasyakartal wahiba wabalagha asyaddahu waruziqat birrahu.
27.                 “Mudah2an Allah melimpahkan berkah, dan Anda makin mensyukuri Dzat Pemberinya. Semoga si anak ini mencapai kedewasaannya dan engkau dikaruniai baktinya”.
28.                 Dan yang diberi ucapan selamat menjawabnya, jawaban standardnya adalah :
29.                 jawaban2 Pahamkah Anda Tentang Aqiqah ?“Barakallahu laka wabaraka alaika “atau” ajzalallahu tsawabaka”
30.                 Artinya : “Semoga kalian juga diberkahi Allah. atau Semoga Allah memberimu balasan pahala yang besar”.

Zakat


SKEMA ZAKAT
Ibadahnya badan itu shalat
Ibadahnya harta itu zakat
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٠٣)
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. At-Taubah : 103 )
[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

Zakat menurut agama Islam : kadar harta yang tertentu diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat.
Zakat adalah merupakan hukum islam yang ke lima, fardu ‘ain atas tiap-tiap orang yang cukup syaratnya.
BENDA YANG WAJIB ZAKAT
1.    Binatang ternak : Unta, Sapi, Kambing, Domba, Kerbau, Kuda. Syaratnya adalah :
·      Islam
·      Merdeka
·      Milik yang sempurna
·      Cukup nishab
·      Sampai setahun lamanya
2.    Emas dan Perak syaratnya adalah :
·      Islam
·      Merdeka
·      Milik yang sempurna
·      Cukup nishab
·      Sampai setahun lamanya
3.    Biji makanan yang mengenyangi, zakatnya pada hari memungutnya. Syaratnya adalah :
·      Islam
·      Merdeka
·      Milik yang sempurna
·      Cukup nishabnya
·      Biji makanan yang mengenyangkan dan tahan lama
4.    Buah – buahan syratnya adalah :
·      Islam
·      Merdeka
·      Milik yang sempurna
·      Cukup nishabnya
5.    Harta perniagaan

Zakat rikaz ( harta terpendam ) : Emas, perak, yang ditanam, apabila mendapat harta semacam itu zakatnya 1/5 (20 % ).
Zakat fitrah ialah tiap-tiap hari raya iedul fitri wajib atas orang islam laki-laki atau perempuan, besar atau kecil, merdeka atau hamba sahaya. Nishabnya satu sha’ atau 3,5 liter dari makanan yang mengenyangkan.







TABEL ZAKAT MAL